Negara Indonesia termasuk dalam negara kepulauan terbesar di dunia. Jumlah pulau yang dimiliki lebih dari 17.000 jenis, dari sabang hingga merauke. Wilayah yang dimiliki Indonesia seluas 5.180.053 km2 dengan jumlah penduduk sebanyak 277,7 juta jiwa. Jumlah penduduk dan wilayah yang luas menjadikan negara Indonesia memiliki banyak suku, bahasa, dan agama yang berbeda. Perbedaan yang dimiliki menjadikan tokoh-tokoh pahlawan membuat semboyan “Bhineka Tunggal Ika”. Secara harfiah diterjemahkan “beraneka satu” yang bermakna meskipun beranekaragam namun pada hakikatnya bangsa Indonesia tetap satu kesatuan. Keanekaragaman budaya yang dimiliki Indonesia menjadi ciri khas bangsa Indonesia dan menjadi pembeda dengan bangsa lain.
Pembeda Indonesia dengan negara lain karena Indonesia terdiri dari beberapa provinsi, dan di setiap provinsi memiliki berbagai kebudayaan yang berbeda dari setiap daerahnya. Setiap daerah memiliki ciri khas yang berbeda-beda, baik secara suku, budaya, agama, dan rumah adat. Rumah adat yang dibagun menyesuaikan denga iklim yang ada di Indonesia, mengingat hidup di negara Indonesia memiliki kondisi tanah yang berbeda pula. Hal ini menjadi acuan bagi orang zaman dahulu untuk membangun rumah. Hakikat orang zaman dahulu dalam merancang dan membangun rumah, melalui pendekatan arsitektur berkelanjutan. Salah satunya seperti bangunan rumah yang terletak di Kampung Rendu Ola, Nagekoe Flores.
Desa Rendu Ola menggunakan arsitektur tradisional yang beradptasi dengan iklim lokal. Wilyah Desa Rendu Ola secara geografis berada di daerah pegunungan dengan kondisi geologis lahan yang relatif berkontur miring. Hal ini mendorong pola pikir masyarakat dahulu untuk mendesain dan menata area perkampungan dengan baik. Desain rumah dengan bentuk panggung yang dibangun disesuaikan dengan kondisi lingkungan yang dingin dan berkontur miring, dimana bentuk ruang-ruang disetiap rumah relatif terbuka yang bertujuan sebagai sirkulasi udara alami dan masuknya cahaya matahari secara maksimal.
Material yang digunakan pada bangunan rumah berasal dari lingkungan sekitar, yakni dengan menggunakan material alam. Pengggunaan dan pemilihan material pada bangunan rumah penduduk Rendu Ola sesuai kehendak dari tradisi yang diwariskan secara turun temurun. Beberapa material alam yang digunakan pada bangunan rumah adat tradisional Rendu Ola diantaranya Lantai berasal dari bambu sebagai pegganti keramik, yang dikenal dengan nama “naja” dan dinding bangunan yang digunakan terdiri dari jenis kayu bone, kayu kesi jawa, dan bambu.
Atap dari bangunan rumah adat Rendu Ola menggunakan material alang-alang sebagai pengganti genteng. Selain dapat digunakan dengan mudah, Penggunaan material ilalang diyakini masyarakat Rendu Ola memiliki tingkat daya tahan yang tinggi dan percaya bahwa material ini sudah digunakan oleh nenek moyang mereka sejak zaman dahulu.
Berdasarkan informasi di atas, bangunan rumah adat Rendu Ola tergolong dalam konsep bangunan berkelanjutan karena dilihat penggunaan jenis material yang ramah lingkungan, dan bahan-bahan yang digunakan tidak melalui proses pabrik sehingga mengurangi damak negatif bagi lingkungan. Konsep bangunan tradisional ini tergolong pada konsep berkelanjutan yang mampu menyeimbangkan antara manusia dan alam, seharusnya konsep ini mampu dijaga dan diterapkan dalam setiap perencanaan arsitektur karena mampu menjaga kondisi alam, hemat energi, dan dapat mengurangi efek pemanasan global.
Konsep green building pada rumah adat yang lain yakni terdapat pada rumah adat Bale Gajah Tumpang Salu di Desa Sidatapa, Kabupaten Buleleng, Bali. Bale Gajah Tumpang Salu sendiri terdiri dari kata baleyang artinya rumah atau tempat tidur, gajah artinya besar atau ada juga yang mengartikan ilmu pengetahuan, dan tumpeng salu artinya Tri Mandala yaitu 3 zoning yaitu Nista Mandala, Madya Mandala, dan Utama Mandala. Ketiga zona memiliki fungsi yang berbeda-beda, untuk Utama Mandala sebagai tempat suci, tempat tidur, dan bale kematian. Madya Mandala sebagai tempat pemujaan Dewi Sri (Dewi Kesuburan) tempat menaruh padi dan beras, dan dibawahnya terdapat dapur (terdiri dari tungku dan jeding untuk menampung air bersih), serta bale untuk tempat perabotan/tempat bekerja. Nista Mandala berupa teras yang berfungsi untuk menerima tamu dan melakukan aktifitas sehari-hari. Keunikan bangunan Bale Gajah Tumpang Salu yakni seluruh bagian ruang dalam satu bangunan mampu menampung seluruh aktifitas penghuninya, baik dalam berkehidupan sosial, ekonomi, spiritual, budaya, dan keamanan. Berbeda dengan konsep tata ruang bangunan tradisional Bali pada umumya, yang terdiri dari banyak massa yang mengacu pada aturan Lontar Asta Kosala – Kosali. Aturan ini memuat terkait aturan-aturan pembuatan rumah ataupun puri serta aturan tempat pembuatan ibadah ataupun pura.
Konstruksi Utama Mandala spesial dibanding dengan Mandala lainnya, yakni lantai menggunakan kayu sedangkan yang Mandala lain menggunakan tanah yang dipadatkan. Bangunan Utama Mandala sedikit ditinggikan dari Madya Mandala dimana untuk meninggkikan derajat Utama Mandala dan berfungsi untuk menghindari kelembaban air tanah naik ke bale. Hal ini dikarenakan fungsinya untuk tempat tidur, dan kelembaban dapat menganggu kesehatan.
Penempatan zona Madya Mandala untuk dapur yang berada di ruangan merupakan cara beradaptasi di daerah yang dingin, pembakaran panas api saat sedang memasak dapat menghangatkan seluruh ruangan yang dibatasi dengan dinding tanah, sehingga saat malam hari dapat beristirahat dengan nyaman. Asap hasil dari pembakaran api dikeluarkan dari ventilasi pada dinding dapur baik dari sisi kanan maupun kiri.
Nistala Mandala hanya berupa teras sebagai tempat penerima tamu dan melakukan aktifitas mengayam keben (wadah untuk persembayangan yang berasal dari bambu) sebagai salah satu mata pencaharian.
Konstruksi utama bangunan menggunakan tiang kayu, disamping material kayu mudah didapat juga sangat baik untuk bangunan di daerah dingin karena dapat menjaga suhu ruangan. Asap pembakaran dari tungku paon secara tidak langsung juga berfungsi mengawetkan kayu dan menjadi tahan lama serta menjaga suhu ruangan tetap hangat. Prinsip bangunan ini memanfaatkan kondisi dan sumber energi alami guna beradaptasi dengan lingkungannya. Selain itu, semua material memanfaatkan dari alam sekitar Desa Sidatapa, seperti kayu, tanah, bambu, alang-alang dan lain lain. Hal ini bertujuan untuk meminimalisir dalam penggunaan material yang tidak dapat perbaharui.
Jadi, bangunan Rumah Adat Bale Gajah Tumpang Salu di Desa Sidatapa merupakan salah satu konsep green building atau bangunan hijau karena pendekatan bangunan yang hemat energi, beradaptasi dengan iklim lingkungan, dan didesain untuk kenyamanan penghuninya serta memakai material yang terbarukan. Bangunan hijau adalah bangunan yang secara life cycle-nya di mulai sejak tahap perencanaan, pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan, renovasi, hingga pembongkarannya memperhatikan dampak negatif dan menciptakan dampak positif terhadap iklim dan lingkungan alam.
Penerapan konsep green building yang baik akan meimbulkan dampak positif bagi alam yaitu melindungi, menghemat, mengurangi penggunaan sumber daya alam, menjaga mutu dari kualitas udara di dalam ruangan, mempertimbangkan lingkungan dalam proses pembangunan, menggunakan bahan yang tidak beracun dan memperhatikan kesehatan penghuninya yang semua berpegang pada kaidah berkesinambungan. Sebagai masyarakat yang bertanggung jawab terhadap lingkungan, dapat menerapkan konsep green building demi terciptanya keberlanjutan lingkungan yang baik.
Refrensi:
Mitra Hijau Indonesia – Konsultan Lingkungan Hidup Surabaya